Santri Nusantara - Dakwah dan amar makruf termasuk istilah yang sangat populer. Tampaknya selama ini umum menganggap kedua istilah itu sama.
Padahal, minimal dari segi pengertian bahasa, keduanya berbeda. Kata amar yang berasal dari bahasa arab sama artinya dengan perintah. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu. Baik dalam kata amar maupun padanannya (perintah) sebagaimana lawannya nahi (anil) munkar kita merasakan adanya nuansa paksaan atau keharusan. Berbada dengan ajakan yang hanya berarti undangan; anjuran; atau permintaan supaya berbuat.
Sementara dakwah mempunyai arti ajakan, lebih menyiratkan kelembutan. Sering kali bahkan bernuansa "merayu" seperti yang sering diperlihatkan suami terhadap istri yang dicintai atau sebaliknya. Perilaku orang yang mengajak tentu berbeda dengan orang yang memerintahkan. Tapi banyak juga yang mengacaukan antara ajakan dan perintah sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan calo terminal.
Di terminal, kita banyak menjumpai calo-calo yang menawarkan "busnya" kepada calon-calon penumpang. Umumnya dengan meyampaikan kelebihan dan keistimewaan bus yang ditawarkannya. Tapi ada saja calo yang begitu bersemangat, sehingga kesannya bukan mengajak, tapi memaksa.
Di dalam Al Quran sendiri kedua istilah itu sering digunakan. Kita pisahkan dulu istilah da'wah yang digunakan dengan pengertian doa dan menyeru yang juga banyak digunakan dalam Al Quran. Karena kita hanya sedang membicarakan da'wah atau dalam bahasa Indonesia: dakwah yang berarti ajakan dan sering disamakan dengan amar-makruf nahi-mungkar.
Ayat sering disebut-sebut sebagai dalilnya dakwah ialah ayat 125 surah 16. An-Nahl,
Artinya:Dalam kalimat "Ajaklah ke jalan Tuhanmu....", tidak disebutkan obyeknya. Siapa yang harus diajak? Maka dalam Al Quran dan terjemahannya, diberi tambahan dalam kurung (manusia) dan dalam beberapa kitab tafsir, diberi penjelasan bahwa yang diajak adalah mereka yang menjadi sasaran dakwah. Saya sendiri berpendapat bahwa kalimat ini memang tidak membutuhkan obyek. Karena rangkaian kalimatnya sudah menunjukkan siapa yang harus diajak. Dari firman "Ajaklah ke jalan Tuhanmu", sudah jelas saiapa yang mesti diajak; yaitu mereka yang belum berada di jalan Tuhan.
Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan himah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk.
Karena mengajak mereka yang belum di jalan Tuhan, maka wallahu a'lam diperlukan cara yang sesuai dengan yang namanya ajakan; dengan hikmah dan mau'izhah hasanah. Apabila mesti berbantah, hendaklah dengan cara yang paling baik. (Maka kecenderungan melibas mereka yang belum/tidak di jalan Tuhan, sama halnya dengan menghendaki tidak difungsikannya ayat dakwah ini). Bahkan untuk mendakwahi Fira'un pun, Allah SWT berfirman kepada kedua utusanNya, Nabi Musa dan Nabi Harus, "Faquulaa lahu qaulan layyinan..." (Q. 20:44) "Dan berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut..."
Kiranya dengan cara yang diajarkan Tuhannya inilah, Nabi Muhammad SAW sukses dalam dakwahnya. Dan untuk konteks Indonesia, cara ini pulalah kiranya yang menyebabkan dakwah para Walisongo berhasil.
Lalu bagaimana dengan amar-ma'ruf nahi 'anil-munkar yang bernuansa kebih 'keras'? Amar ma'ruf nahi 'anil-munkar (seharusnya) merupakan ciri komunitas orang-orang mukmin yang tentu saja sudah berada di jalan Allah SWT. (Baca misalnya, Q. 3: 110, 114; 9: 71). Dalam bahasa Al Quran, mereka satu sama lain adalah waliy (dalam bahasa Jawa, saya mengartikan waliy dengan bolo, kebalikan dari musuh).
Di dalam komunitas seperti ini, perintah berbuat ma'ruf dan larangan berbuat kemungkaran merupakan keniscayaan. Sebab mereka semua ada di satu jalan dan menuju satu tujuan. Jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan bersama. Kalau boleh kita urutkan, pertama-tama dakwah; kemudian amar ma'ruf-nahi munkar. Wallahu a'lam.
(KH. A. Mustofa Bisri : Agama Anugerah Agama Manusia)